[115]. I'tikaf ialah berada dalam mesjid dengan niat mendekatkan
diri kepada Allah.
Mengenai turunnya ayat ini terdapat beberapa peristiwa sebagai berikut:
a. Para shahabat Nabi SAW menganggap bahwa makan, minum dan menggauli istrinya pada malam hari bulan Ramadhan, hanya boleh dilakukan sementara mereka belum tidur. Di antara mereka Qais bin Shirmah dan Umar bin Khaththab. Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar) merasa kepayahan setelah bekerja pada siang harinya. Karenanya setelah shalat Isya, ia tertidur, sehingga tidak makan dan minum hingga pagi. Adapun Umar bin Khaththab menggauli istrinya setelah tertidur pada malam hari bulan Ramadhan. Keesokan harinya ia menghadap kepada Nabi SAW untuk menerangkan hal itu. Maka turunlah ayat "Uhilla lakum lailatashshiamir rafatsu sampai atimmush shiyama ilal lail" (S. 2: 187)
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim dari Abdurrahman bin Abi Laila,
yang bersumber dari Mu'adz bin Jabal.
Hadits ini masyhur, artinya hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih
kepada tiga orang atau lebih dan seterusnya. Walaupun ia tidak mendengar langsung
dari Mu'adz bin Jabal, tapi mempunyai sumber lain yang memperkuatnya.)
b. Seorang shahabat Nabi SAW tidak makan dan minum pada malam bulan Ramadhan,
karena tertidur setelah tibanya waktu berbuka puasa. Pada malam itu ia tidak
makan sama sekali, dan keesokan harinya ia berpuasa lagi. Seorang shahabat
lainnya bernama Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar), ketika tiba waktu
berbuka puasa, meminta makanan kepada istrinya yang kebetulan belum tersedia.
Ketika istrinya menyediakan makanan, karena lelahnya bekerja pada siang harinya,
Qais bin Shirmah tertidur. Setelah makanan tersedia, istrinya mendapatkan
suaminya tertidur. Berkatalah ia: "Wahai, celakalah engkau." (Pada waktu
itu ada anggapan bahwa apabila seseorang sudah tidur pada malam hari bulan
puasa, tidak dibolehkan makan). Pada tengah hari keesokan harinya, Qais bin
Shirmah pingsan. Kejadian ini disampaikan kepada Nabi SAW. Maka turunlah ayat
tersebut di atas (S. 2: 187) sehingga gembiralah kaum Muslimin.
c. Para shahabat Nabi SAW apabila tiba bulan Ramadhan tidak mendekati
istrinya sebulan penuh. Akan tetapi terdapat di antaranya yang tidak dapat
menahan nafsunya. Maka turunlah ayat " 'Alimal lahu annakum kuntum takhtanuna anfusakum fataba'alaikum wa'afa 'ankum sampai akhir ayat."
(Diriwayatkan oleh Bukhari dari al-Barra.)
d. Pada waktu itu ada anggapan bahwa pada bulan Ramadhan yang puasa haram makan, minum dan menggauli istrinya setelah tertidur malam hari sampai ia berbuka puasa keesokan harinya. Pada suatu ketika 'umar bin Khaththab pulang dari rumah Nabi SAW setelah larut malam. Ia menginginkan menggauli istrinya, tapi istrinya berkata: "Saya sudah tidur." 'Umar berkata: "Kau tidak tidur", dan ia pun menggaulinya. Demikian juga Ka'b berbuat seperti itu. Keesokan harinya 'umar menceritakan hal dirinya kepada Nabi SAW. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 187) dari awal sampai akhir ayat.
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim dari Abdullah bin
Ka'b bin Malik, yang bersumber dari bapaknya.)
e. Kata "minal fajri" dalam S. 2: 187 diturunkan berkenaan dengan orang-orang
pada malam hari, mengikat kakinya dengan tali putih dan tali hitam, apabila
hendak puasa. Mereka makan dan minum sampai jelas terlihat perbedaan antara
ke dua tali itu, Maka turunlah ayat "minal fajri". Kemudian mereka mengerti
bahwa khaithul abydlu minal khaitil aswadi itu tiada lain adalah siang dan malam.
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Sahl bin Sa'id.)
f. Kata "wala tubasyiruhunna wa antum 'akifuna fil masajid" dalam S. 2: 187 tersebut di atas turun berkenaan dengan seorang shahabat yang keluar dari masjid untuk menggauli istrinya di saat ia sedang i'tikaf.
(Diriwayatkan oleh ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah.)
|